Yang jelek-jelek begini biasanya tampak mantap di mata orang asing. Meski persepsi ini cuma diserap dari seorang individu tunggal Indonesia, nilai persepsi itu sudah menjadi cap negatif bagi orang Indonesia.
Saya berhasil mengumpulkan sejumlah quotations dari pengalaman bergaul dengan orang asing dan dari catatan teman-teman yang menilai tindak tanduk mereka.
”Orang Indonesia gak bisa antri,”
(Kata petugas Customs pada saya di bandara internasional San Francisco, 1992,ketika saya tak sengaja menyalip antrian pemeriksaan pabean)
”Orang Indonesia kalau kerja tidak berkeringat, kalau makan berkeringat,”
(Simpul seorang guru Jepang di Sekolah Jepang Surabaya, tempat saya pernah mengajar bahasa Inggris, 1998)
”Kalau orang Indonesia bilang ’no problem’, itu berarti ’big problem,”
(Ucap dua wartawan koran asal Jerman yang menyewa saya sebagai penterjemah ketika mengikuti perjalanan wisata sebuah keluarga dengan dua orangutan. Keluarga ini diberi hak asuh orangutan dari Kebun Binatang Surabaya, 1996)
”Orang Indonesia suka mengurusi urusan orang lain,”
(Pendapat murid saya, lelaki asal Amerika yang diusir Pak RT ketika mengapeli pacarnya yang tinggal di kampung di Surabaya. Ia diusir karena belum pulang juga dari rumah pacar sampai pukul 22.00)
”Orang lain kalau bersalah minta maaf. Orang Indonesia kalau bersalah malah tertawa,”
(Kata teman saya Simon Lee, asal Singapura. Saya jadi ingat Amrozi, teroris otak bom Bali yang terus-tersenyum-senyum di depan kamera televisi meski baru menghabisi lebih dari dua ratus nyawa wisatawan di café Sari dan café Padi di Kuta)
“Indonesia itu negara surga. Saya salah jalan, ditilang polisi, saya sodori Rp 20.000. Beres! Kalau di negara saya, SIM saya disita, saya harus ke pengadilan, makan biaya, makan waktu lama, bikin capek”
(Ucap Peter Mudd, teman saya asal Inggris, punya Kursus Bahasa Inggris di Surabaya)
”Indonesia dipenuhi pecinta keindahan sekaligus perusak keindahan. Coba itu lihat, pohon-pohon ditempeli iklan pakai paku, ruang-ruang publik yang baru dicat atau dibangun ditempeli iklan jasa sedot WC, spanduk malang melintang di tengah jalan. Rambu-rambu lalu lintas juga ditempeli iklan macam-macam jasa, termasuk iklan basmi kecoak”
(Pengamatan Catherine Anderson, asal Perth, Australia, siswa Bahasa Indonesia saya)
“Saya heran, kalau lagu Indonesia Raya tengah berkumandang, orang di sini tidak berdiri tegak dengan posisi khidmat. Di negara saya, kalau lagu kebangsaan mengudara di loud-speaker umum, kami wajib menghentikan semua kegiatan dan berdiri khidmat,”
(Kata Singkong Pitbongsarakul, teman asal Thailand yang suka mengajari saya masakan Thai)
“Orang Indonesia pintar menyulap angka. Saya suruh anak buah saya beli pompa air listrik. Ia menyerahkan bon resmi bernilai Rp 2,5 juta. Belakangan saya tahu harganya cuma Rp 2,1 juta”
(Kata Andrei Dimitriakis, asal Yunani, seperti diceritakan pada teman saya. Andrei adalah manajer eksekutif bidang pemasaran perusahaan sabun internasional di Surabaya)
“Jam karet! Janji jam 10.00, datang jam 11.00. Kalau janji temu meleset, HP-nya sulit dihubungi”
(Pendapat Helena Sanchez, kenalan baru saya, asal Argentina, bolak-balik ke Indonesia sebagai utusan LSM internasional untuk urusan disaster recovery)
Quotations di atas memang mencerminkan nilai dan situasi sosial budaya yang boleh dibilang ’paling Indonesia’ dari sisi negatif. Perlukah kita mengubahnya menjadi lebih baik? Tentu saja!
Itu bisa dimulai dari individu kita sebagai orang Indonesia. Saya dan Anda harus menjadi duta sosial-budaya Indonesia di manapun Anda berada, dengan siapapun Anda bertemu, dalam situasi apapun Anda berada. Anda, sebagai perorangan Indonesia berpotensi untuk menampilkan persepsi ’paling Indonesia’ dari sisi positif dan sisi terhormat.
Berbanggalah bila orang asing memuji, ”You are so Indonesian” ketika melakukan tindakan sosial budaya positif, bukan sebaliknya.
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.